Selasa, 07 Oktober 2008

Bumi Semakin Panas dan Emas Hijau dari Papua


PBB dan masyarakat dunia kini berjuang mcncari solusi mengurangi pemanasan Bumi dalam pertemuan mereka di Bali. Mudah-mudahan akhirnya tak seperti KTT Bumi Rio de Janeiro Brasil, 1992. 
Kala itu sejak hari pertama, wakil dari 190 negara yang mamadati Nusa Dua menyaksikan, betapa Amerika Serikat, tak bergeser dari sikapnya, menolak Protokol Kyoto. Negeri adidaya itu tak ingin ambil risiko mengurangi mesin industrinya karena kepentingan stabilitas ekonomi dan industri sambil menawarkan alternatif lain. 
Di awal konferensi Bali itu, wakil AS menyetujui apa yang desebut sebagai “Bali Roadmap”, sebagai konsensus, bahkan siap untuk bernegosiasi tentang rezim baru setelah Protokol Kyoto. Posisi tadi sebetulnya tidak menjamin komitmen secara mendasar atas masalah paling mendasar dari akar Pemanasan Global. Bumi akan semakin panas, dan diprediksi setelah tahun 2080, umat manusia ibarat cacing kepanasan, menanti suatu malapetaka yang dahsyat.
Ketika saya menghadiri KIT Bumi Rio 1992, seruan para wakil perempuan dari 100 negara yang hadir ialah agar segera terjadi alih kepemimpinan di semua lembaga dunia, dari dominasi kaum laki kepada kaum perempuan. 
Dari tenda nomor 14 Flaminggo Park pantai Rio diserukan bahwa jika kaum perempuan diberi kepercayaan memimpin lembaga-lembaga strategis dunia, akan terjadi transformasi kebijakan terhadap lingkungan hidup planet kita ini. Kerusakan alam dan krisis ekologi global akan dikendalikan lewat kebijakan di bidang politik dan ekonomi global.
Kaum wanita di Rio yang bcrjumlah 10.000 orang secara massal memberikan komitmen di bibir Pantai Rio dengan mendepositkan cahaya matahari pagi dari “cermin make up-nya” ke dalam laut dan berseru “Hai matahari kebenaran, teruskanlah suara kami ke semua perempuan di pulau dan benua, agar bersatu untuk menjaga alam ini dari kerusakan yang disebabkan oleh kaum laki-laki”.
PBB kini semakin cemas karena hampir semua deklarasi dan komitmen untuk pembangunan dunia di atas prinsip-prinsip berkesinambungan dan ramah lingkungan sudah kandas selama 15 tahun terakhir ini. 
Antara Johanesburg dan Kyoto, negara Industri meratifikasi Protokol Kyoto dengan setengah hati. Amerika Serikat dan Australia menjelang konferensi UNFCCC Bali belum menandatangani Proktokol Kyoto. Kita bisa bernafas lega tatkala PM Australia yang baru Kevin Rudd, bersedia menandatangani Protokol Kyoto pada tanggal 3 Desember lalu. 
Kini tinggal AS sendiri sebagai satu-satunya negara yang jelas tidak akan menandatangani Protokol Kyoto. Pilihan yang ditawarkan adalah mendukung skema Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD). Skema ini sulit diterapkan di semua negara.
Kini Indonesia akan menjadi saksi sejarah dari suatu drama internasional yang memberi fokus atas tema “Perubahan lklim”dan kiat-kiat yang jitu bagi pengurangan emisi karbon dioksida. Seluruh dunia sedang menghadapi ancaman pemanasan bumi karena gas rumah kaca, efek rumah kaca, akibat emisi karbon dioksida (CO2), Natrium dioksida (N20), serta hydrofluor karbon dan perfluoro karbon (PFCs)
Dari Rio de Janeiro, PBB terus melakukan rangkaian konferensi di Johannesburg, 2002, yang memberi atensi pada hak masyarakat pribumi atas hutan dan alamnya. Protokol Kyoto mengisyaratkan suatu kebijakan politik untuk mengurangi tingkat emisi karbon (MFCs) dan (PFCs).
Penting disimak bahwa konsentrasi dan akumulasi dari semua emisi tadi bila tidak dikendalikan melalui suatu komitmen moral, oleh semua negara anggota PBB, untuk menguranginya, maka planet bumi kita ini akan semakin panas. 
Bagi kita di Indonesia, diprediksi bahwa dari 17.000 pulau yang ada, 2.000 di antaranya akan tenggelam pada tahun 2030. Pada tahun 2080, negeri ini akan kehilangan sekitar 400.000 km persegi tanah, di antaranya di Pantura Jawa-Sumatera, termasuk kawasan selatan Papua.

Era Green Gold dari Papua
Sejak Rio 1992, sudah diserukan agar hutan hujan tropis di Papua diproteksi sebagai aset Planet Bumi. Presiden Suharto dalam pidatonya menyambut hasil KTT Bumi Rio, menyatakan bahwa hutan Papua menjadi bagian dari paru-paru bumi yang harus dilestarikan. 
Sayangnya bahwa seruan itu berlalu disapu oleh angin investasi atas hutan Papua oleh puluhan HPH dalam negeri serta para pemodal asal Malaysia, China, Korea, dan Singapura. Kini hanya tersisa 42 juta km2 hutan hujan tropis yang dipertaruhkan kelestariannya sebagai sumber deposit oksigen bagi planet bumi ini.
Konferensi Perubahan Iklim di Bali kiranya mengambil langkah-langkah strategis antara lain mengadopsi suatu klausul yang memberi proteksi internasional atas 42 juta km2 hutan hujan tropis Papua sebagai aset planet. Langkah sedemikian membutuhkan keberanian moral sebagai rakyat pemilik tanah dan hutan juga pemerintah baik lokal maupun nasional. Sikap itu akan menjadi penting untuk menyerap erosi CO2 sebagai nutrisi, serentak menjadi unsur yang memelihara keseimbangan ekologis planet ini.
Tanah Papua yang memiliki deposit emas terbesar di Bumi, kini mendapat kesempatan kedua untuk dikelola hutan hujan tropisnya sebagai “”tambang” emas hijau terkaya di dunia, setelah Amazon dan Zaire. 
Tawaran Skenario Pengelolaan Hutan yang berkelanjutan (Sustainable Forest Management) yang kini ditawarkan oleh berbagai pihak, perlu diuji efektivitasnya, terutama bagi kesejahteraan rakyat Papua. Karena hutan hujan tropis.itu adalah sumber daya alam tersisa di planet ini. 
Disanalah tersedia deposit oksigen terbesar bagi kehidupan manusia. Hutan yang hijau itulah yang kelak dikelola sebagai emas hijau bagi rakyat Papua. Suatu sumber kekayaan yang bakal melebihi emas hitam yang kini dinikmati oleh Saudi Arabia dan Negara-negara Timur Tengah.

Penulis adalah rohaniwan dan aktivis.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger

Bumi yang terluka !!!

Bumi yang terluka !!!

Ketika kau akan pergi.

Ketika kau akan pergi.